Monday, September 9, 2013

Cerita Ramadhan Si Sulung

"Kalau aku bisa puasa full bulan ini hadiahnya apa, Bu?" tanya sulungku yang sebentar lagi akan kelas 4 Sekolah Dasar. 

"Lho, puasa koq minta hadiah sih Kak?" sahutku sembari tersenyum simpul. 

"Ya iya lah ibuku sayang, biar semangat puasanya," ujarnya tetap tak mau kalah. 

Hmmm... ya itulah sepenggal percakapan yang sudah 4 tahun ini terus terulang. Puasa dan hadiah. Bagaikan Romeo dan Juliet saja, harus berpasangan ya? 

Tak hanya tersenyum simpul saja yang diizinkan di sini, harus memutar otak dan lidah untuk menjawab pertanyaan dan ujaran super cerdas dari seorang bocah perempuan yang baru saja berusia sembilan ;) 
 Beginilah setiap kali akan menyambut Ramadhan. Ayah dan ibu musti berada pada versi 'siaga' lahir dan batin untuk seorang bocah yang sedang berusaha menunjukkan jati dirinya. Jati diri yang terus digalinya dengan menyampaikan aneka analisa dan alasan berdasarkan nalar murninya.

Ah, anakku sayang, mari ke sini, akan ibu coba untuk menguatkan iman atas jiwa beranimu yang kelak akan ayah dan ibu banggakan di hadapan Ilahi. Mengajarkan anak berpuasa memang musti perlahan-lahan. Terbayang masa kecil ibumu ini, Nak, diam-diam harus menelan air bak demi terhapusnya dahaga secara sembunyi-sembunyi. 

Mengapa harus sembunyi? Tentu saja. Mana berani ibumu ini menghadapi eyangmu yang sekeras besi di masa lalu. Ibu tak mau itu terjadi lagi padamu. Pelan namun pasti ibu yakin, Nak, engkau akan menemukan pencapaian ruhani yang dapat kaumengerti. Bahwa berpuasa itu tak sekadar menahan haus dan dahaga. 

Puluhan buku dan diary tebal tak akan mampu ibu jabarkan saat ini, Nak. Kau akan menorehkan sendiri cerita Ramadhanmu, penemuan sisi hakiki shaum yang bisa kautelusuri melalui jemari hatimu yang putih itu. 

Ibu yakin itu anakku sayang. Ajaran ibumu yang masih pendek ilmunya ini suatu saat akan kaukhatamkan dengan sempurna. Melalui bujukan tiada henti, pompaan semangat semenjak engkau duduk di bangku taman kanak-kanak. Di saat kau baru bisa tuntaskan puasamu di jam sepuluh pagi, lalu jam sebelas, dan terus bertambah sesuai dengan hilangnya bayang-bayang nikmatnya es sirup dan aneka penganan yang selalu mengisi benakmu. Pun teguran rutin saat engkau pura-pura mengantuk, tidak mau berangkat mengaji pukul empat sore. 

Ayah dan ibu harus terus mengingatkanmu, Nak. Tapi tak mengapa. Mempersiapkanmu menjadi anak yang soleha memang butuh konsistensi. Meskipun itu kadang harus ayah-ibu tempuh dengan memberikan jutaan argumen untuk menjawab berbagai ucapan permisifmu. 

Ah, anakku sayang, tak ada persiapan Ramadhan yang jauh lebih berarti dibandingkan dengan mempersiapkanmu seperti itu. Kolak, teh, sirup, camilan dan aneka penganan hanyalah rutinitas dari waktu ke waktu. Namun menempamu untuk menjadi juara di hadapan Khalik-mu adalah persiapan ayah dan ibu yang harus terus tertancap di kalbu. 

Tak boleh terhenti, tak boleh sekejap termangu, karena tak seorang pun akan tau kapan Ilahi Robbi akan memanggilmu. Mau tak mau kau harus siap saat itu. Ayah dan ibu akan terus seperti itu wahai anakku tersayang, dari waktu ke waktu. Mempersiapkan Ramadhan yang akan terus indah bagimu.

1 comment: