Wednesday, February 18, 2015

Akan Merindukan Masa Riweuh Ini

Posisi Ibu di antara kejeniusan dan "kegilaan". Kejeniusan untuk multitasking dan kegilaan melakukan semua dengan percaya diri.
Quote di atas berasal dari Mba Tenik Hartono, Pimred Ayahbunda yang pernah saya temui langsung saat majalah tersebut sedang menyelenggarakan event di Semarang. Suara menggelegar khas beliau yang diiringi dengan renyahnya percakapan sangat menarik perhatian saya waktu itu.

Kali ini Mb Tenik bukan sedang memberikan materi di seminar / talkshow. Quote di atas diberikannya pada buku berjudul Mommylicious. Buku ini ditulis oleh Murtiyarini dan Rina Susanti, atau yang lebih akrab saya sebut Mak Arin dan Mak Rina. Kami sama-sama kenal melalui Kumpulan Emak Blogger (KEB). Saya lebih kenal dengan Mak Arin karena pernah bertemu langsung saat pelaksanaan Srikandi Blogger 2014 yang lalu.

Mak Arin adalah sosok yang menurut saya pendiam dan kalem. Bahkan saat saya ngakak-ngakak, beliau hanya sedikit membuka bibir untuk tersenyum. Melalui tulisannya di Mommylicious ini terbukti bahwa penilaian saya benar. Mak Arin adalah sosok yang serius dan pas banget menjadi polisi sopan santun. Hal itu ditulisnya di halaman 58


Mama adalah polisi sopan santun dan ayah adalah badut penghibur.

"Lagian ngakak itu kurang sopan, Cin..." begitu penggalan kalimat Mak Arin yang ditujukan ke Cinta putrinya. Beda banget loh dengan cara saya memperlakukan Vivi dan Faris, kedua buah hati saya. Saya bebas berkelakar sampai ngakak terjungkal-jungkal loh ibaratnya kalau sama mereka. Ya, lain ladang lain belalang dooonkk... Beda cerita, kaya rasa ;)

Lain lagi dengan Mak Rina yang sering merasa bersalah karena sesuatu hal. Di halaman 17 misalnya, saat ASInya tak lancar. "Saya merasa sudah gagal menjadi mama karena tidak bisa memberikan yang terbaik." Atau di halaman 95 saat putrinya Azka terjatuh dan membentur kotak mainan di saat Mak Rina sedang tidur karena kecapekan. Pernah nggak sih saya dan mama lainnya mengalami hal yang sama seperti itu?

Ada satu peristiwa yang sampai saat ini tidak pernah saya lupakan. Kejadian yang mirip banget dengan apa yang dialami Mak Rina tadi. Saking ngantuknya, saya sempet nggak ngeh saat Faris yang waktu itu masih belum setengah tahun tidur terlalu di pinggir. Waktu itu saya belum punya box bayi. Box pinjaman milik Vivi putri pertamaku sudah dikembalikan ke pemiliknya. Mengingat masa pemakaian baby box yang tidak terlalu lama, saya dan suami memilih untuk tidak membeli.

Nah ini dia awal perasaan bersalah yang ingin saya ceritakan tadi. Gara-gara ngantuk 'ngeronda' tengah malam untuk menyusui baby Faris dan seharian full bekerja di kantor, malam itu saya cepat sekali tertidur. Tidur yang teramat pulas hingga lupa untuk meletakkan Faris ke tempat yang lebih aman.

Rasanya seperti terbanting dari ketinggian ketika kesadaran saya dipaksa untuk muncul seiring dengan tangisan Faris yang keras sekali. Saya dan suami sama-sama kaget mendengarkan tangisan itu. Ya Allah, ampuni diriku, baby Faris sudah terjatuh di lantai dari atas ranjang yang saya tiduri. Untungnya ada beberapa bantal yang tergeletak di bawah ranjang waktu itu. Jadi Faris tidak langsung jatuh ke lantai.

Bukannya Faris yang kaget dan kesakitan justru saya yang menangis tersengal-sengal sampai pagi hari. Menyesaaaaaallll banget dan merasa berdosa. Bahkan bujukan suami saya waktu itu tidak mempan. Dia bilang Faris tidak apa-apa. Tidak benjol, tidak ada bekas lebam di kepala maupun badan. Tapi kan tetep ya seorang ibu itu mikirnya kenapa kenapa. Jangan-jangan nanti kepala Faris ada yang cidera, besok besar gimana kalau jatuhnya ini menimbulkan efek, bla bla blaaaa nggak ada habisnya perasaan itu mendera. Tangisan saya baru bisa berhenti setelah mata ini rasanya capek sekali. Padahal Faris setelah saya susui tadi langsung tidur terlelap, eh malah ibunya yang gantian mewek berkepanjangan. Saya pun kemudian tidur namun sungguh tidak tenang rasanya. Mana besok paginya mata saya sembab dan muka kusut masai. Bolos ke kantor deeehhh... :)

Ya, rasa bersalah seperti yang diungkapkan Mak Rina tadi memang kerap terjadi pada seorang ibu. Apalagi nih ya kalau ibu-ibu ngomongin soal ASI. Wah bisa tujuh hari tujuh malam nggak selesai kalau perdebatan tentang ASIX vs sufor sudah muncul di sosial media. Saya sih kalau mau melanjutkan rasa bersalah pasti ikut mikirin juga persoalan ini. Lha saya ini bukan ibu teladan. Vivi dari lahir jebrol sudah mendapat tambahan sufor. Waktu itu belum gencar wacana ASI eksklusif, pun saya ya manut-manut saja saat perawat rumah sakit menyarankan baby Vivi diberi tambahan sufor karena ASI saya masih sedikit.

Begitu juga dengan Faris, di usia 4 bulan entah kenapa dia tidak mau lagi menyusu langsung pada saya, padahal produksi ASI saya masih berjalan terus. Memang sih tidak banyak, sama seperti dulu waktu anak pertama, Faris sudah mencicipi sufor di awal-awal bulan usianya. Mungkin karena itu ya dia lebih memilih ngedot yang alirannya lebih deras dibandingin payudara saya. Duh, sedih deh. Tapi apakah rasa bersalah itu harus terus saya pelihara?

Mama jangan kerja

Masih banyak sebenarnya hal-hal yang membuat saya merasa bersalah. Seperti yang dituturkan Mak Rina di halaman 148 saat putrinya Azka merengek agar dia tidak bekerja. Saya juga mengalaminya, terutama dengan Faris anak kedua saya. Vivi jauh lebih mudah untuk dilatih mandiri. Sejak umur 3 tahun Vivi sudah minta disekolahkan dan saya memasukkan ke PAUD yang agak jauh dari rumah. Saat berangkat bekerja saya sekalian mengantar Vivi ke PAUD. Hanya di dua hari pertama Vivi masuk sekolah saja saya menunggunya beberapa saat. Di hari ketiga suasana sudah aman terkendali. Vivi sudah mau saya tinggal dan satu jam ke depan dia akan dijemput..... OJEK. Iya, ojek sepeda motor yang dikendarai Pak Nono tetangga kampung yang sudah dikenal baik oleh ibu mertua saya. Tega banget ya saya menyerahkan anak sekecil itu ke orang lain :(

berangkat sekolah ceria sekali ya Nak :*

Ya kalau diingat-ingat terus masalah seperti ini saya akan selalu bilang kepada diri sendiri kalau saya ini 'ratu tega' sama anak. Namun saat Vivi dengan penuh percaya diri latihan naik sepeda dan berani berangkat ke sekolah sendiri di usia 8 tahun, ada rasa bangga menyeruak di dalam hati saya. Ini ya ternyata hasil kerja keras saya 'meredam' rasa bersalah bertahun-tahun itu. Saat Vivi sudah bisa mandi sendiri, menata baju seragam dan buku-bukunya sendiri, mengeluarkan sepedanya dan cium tangan ayah ibunya, kadang-kadang saya masih suka menitikkan air mata melihat putri kebanggaan saya ini cepat mandiri, meskipun di depannya saya lebih sering memasang 'topeng antagonis' saya ;)

Juga saat menyaksikan Faris yang hingga usia 2.5 tahun belum bisa bicara kini ceria luar biasa. Bahkan cenderung tidak bisa distop ngomongnya ;)  Saraf motorik Faris jauh lebih mumpuni dibandingkan Vivi. Faris lihai melakukan berbagai gerakan fisik yang cenderung berbahaya. Pernah jatuh juga sih, cuma  ya enggak kapok dia. Mengendarai sepeda juga respon membelok dan menghindar dari rintangan lebih jagoan Faris. Apa karena dia anak laki-laki ya? Sedangkan Vivi lebih jagoan urusan audio. Kecepatan bicara dan menjawab pertanyaan beberapa tingkat di atas saya. Bahkan saat pertanyaan belum selesai dia sudah memberikan jawaban loh ;)  Suka geleng-geleng kepala deh menyaksikan kepiawaiannya 'membantah' dan beradu argumen dengan saya.

jalan-jalan bareng krucils di Kota Lama

Bangun di pagi hari, gedubrakan menyiapkan keperluan anak-anak sebelum mereka berangkat sekolah, menemani mereka belajar semampu saya, membacakan cerita saat mereka bangun tidur maupun saat akan terlelap, rasanya memang tidak ada habis-habisnya rutinitas saya sebagai ibu. Belum lagi mengurus diri sendiri yang akan berangkat bekerja. Apalagi bila salah satu dari anak-anak ada yang sakit, badan sih ada di kantor, tetapi nyawa saya serasa terbelah. Bisa ikut membayangkan nggak sih apa yang saya rasakan ini?

Saat pulang kantor, badan capek luar biasa, tetapi adaaaaa saja yang anak-anak minta. Minta dianterin beli bahan prakarya lah, minta dibuatin spagheti, diajak menggambar bersama, belum lagi kalau pas sore si kecil nggak mau dimandiin ART saya yang pulang sore. Harus mandi sama ibu, begitu ucap Faris. Dughh...

Selagi anak masih mau lengket sama kita, ya nikmati saja. Beberapa tahun lagi mungkin ia sudah enggan kita cium dan peluk. ~ Mommylicious, hal. 94

Anak-anakku sayang, meskipun ibu suka mengomel panjang pendek, kalian pasti tau bahwa ibu sangat sayaaaangg pada kalian. Akan tiba masa dimana ibu akan merindukan masa-masa riweuh bersama kalian seperti ini. Saat kalian sudah punya teman se-gank yang lebih asyik diajak ngobrol dibandingin ibu. Saat petualangan masa muda kalian menuntut kalian lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Aaahh... apa nanti ibu akan tahan ya diam sendirian di rumah dan enggak jejeritan plus ngomel seperti sekarang?

Buku Mommylicious yang ditulis Mak Arin dan Mak Rina ini sungguh membuka mata dan hati kita, bahwasanya setiap orang memiliki keinginan untuk berbuat lebih bagi orang-orang yang dicintai dengan berbagai cara, juga dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki (halaman 150). Apapun pilihannya, apapun penilaian orang lain, apa sih sebenarnya yang paling penting untuk kita dan keluarga tercinta? Hanya kita yang mengalaminya sendiri lah yang paling tau mana yang terbaik untuk keluarga kita sendiri. Ada baiknya kita juga bisa berempati kepada orang lain yang memiliki problematika pengasuhan anak yang berbeda dengan diri kita. Sesama ibu sudah sewajarnya kita saling support, membantu memberikan masukan bila diminta, atau sekadar menjadi pendengar saat ibu yang lain kepengin curhat. Jangan buru-buru dihakimi yaaaa...

13 comments:

  1. Yoi, Mbak Uniek. lek aku nggremeng curhat nang bojo, jawabane yo ngunu. Nikmati wae, mengko kangen lho omah berantakan, kangen uyel2an karo bengok2 gak jelas nang omah. hehehe

    ReplyDelete
  2. Betul sekali mbak Uniek, dinikmati setiap kejadian ya... Sekarang anak-anak saya sudah besar-besar, yg sulung kuliah di kota lain, tinggal 3 nih, dan sudah gadis2 dan bujang.. sudah punya acara masing2.. Meski mereka masih suka dipeluk2 tp beda saat mereka masih kecil, ngga ridho rasanya anak2 ngga ngerewongin emaknya hehe

    Terima kasih atas tulisannya mbak, semakin membuka mata dan hati, betapa setiap kejadian bersama buah hati adalah kejadian yang sangat patut kita nikmati dan syukuri... 😊

    ReplyDelete
  3. jadi ibu berjuta rasanya ya mak uniek...makasih udah ikutan

    ReplyDelete
  4. Iyo mba bener bojomu. Jan2e aq yo pengin mandeg le ngomel2, tp koq rumah ntar rasanya nggak meriah ya klo sepi2 aja hahaha... cari pembenaran ;)

    ReplyDelete
  5. Terima kasih sudah mampir Mba... saya harus banyak2 bersyukur dan menikmati indahnya jadi ibu nih.

    ReplyDelete
  6. nggak cuma jutaan Mak Rina, milyaran kali rasanya hihihiii...asyik nano nano

    ReplyDelete
  7. Anak dua aja rame apalagi kalau 5 seperti aku mbak....rumah selalu mirip kapal pecah.....
    Mengenai ibu bekerja atau stay di rumah menurutku sih tidak bisa dibahas dan dibandingkan karena semua mempunyai konsekuensi tersendiri. Ibu bekerja beda dengan perempuan egois, perempuan egois itu akan cenderung mengejar karinya dan melupakan atau mengesampingkan kehidupan berumah tangga kalaupun mereka berumahtangga mereka sangat keberatan dengan hadirnya seorang anak.... emang ada...? banyak......
    Ibu yang baik tidak terukur apakah ia dirumah atau bekerja, melainkan dari perhatian dan kepeduliannya terhadap anak-anak. Ibu yang dirumah juga harus kreatif, tidak melulu hanya dapur atau nongkrong di kumpulan ibu-ibu Rt saja. Sehingga jika terjadi sesuatu terhadap suaminya maka ia bisa mengendalikan peran ganda.

    ReplyDelete
  8. iya ini saya juga enggak mbandingin ibu bekerja vs ibu di rumah lho Pak ;) semua ada kelebihan dan kekurangan... saya hanya membicarakan indahnya menjadi ibu lho ini :)

    ReplyDelete
  9. Mba, disini katon enom...manis.... pasti abis baca mommylicious.

    ReplyDelete
  10. Dwi Aprilytanti HandayaniMarch 2, 2015 at 6:09 AM

    jadi Mommy itu riweeeuh yang delicious ya Mba :)

    ReplyDelete