Saturday, August 15, 2015

Berhari Raya di Rumah Saja



Berhari raya di rumah saja, salah kah?

Lebaran tahun ini persis sama dengan lebaran tahun kemarin dan kemarinnya lagi. Kung dan Ti (eyangkung dan eyangti) tinggal di kota yang sama dengan kami sekeluarga, jadi ya tak perlu jauh-jauh perginya. Edisi makan ketupat dan opor dalam dua versi pun terus berlanjut. Versi pertama di rumah ibu kandungku, dan versi keduanya ya di rumah mertua.

Rutinitas bermaaf-maafan pun tetap sama. Kalau di rumah ibu berkumpul semua kakak-kakakku, komplit dengan pasangan dan anak-anak. Budhe (begitulah panggilan anak-anakku ke kakak sulungku) sekeluarga ada 4 orang, putra-putrinya sudah besar semua. Yang satu kuliah semester 5, satunya lagi kelas 2 SMA. Sedangkan Bucik (panggilan sayang untuk kakak keduaku) belum punya momongan, jadi ya datang berdua saja dengan suaminya. Sedangkan aku sendiri komplit sepeleton dengan suami dan dua orang anak, cowok cewek, yang meriahnya sudah ngalah-ngalahin stand up comedy :)

sungkeman dan pelukan dengan Uti tercinta

Biarpun dari tahun ke tahun diulang-ulang terus, sungkeman bermaaf-maafan ini terus terang yang paling kutunggu. Minta maaf kepada orang tua dan saudara memang bisa kapan saja, tidak harus dalam rangkaian hari raya. Tetapi entah kenapa ya kalau pas lebaran seperti ini minta maaf saja bisa sampai berlinang air mata. Mungkin karena secara tidak sadar ada pikiran terlintas, akankah masih ada Ramadhan dan Lebaran bagiku di tahun berikutnya? Apakah ada di antara teman-teman yang merasakan seperti itu juga? Kalau iya, I'm not alone anyway.

Mengajarkan kalimat minta maaf kepada anak-anak ada kisah uniknya juga nih. Kakak yang tahun ini sudah berumur sebelas tahun, tentu saja lebih mudah diajari. Bagaimana mengucapkan permohonan maaf saat sungkem ke Uti, dia sudah fasih.

Beda cerita dengan Adek yang di usianya kelima ini, tentu saja kosa kata dengan 'bahasa orang dewasa'nya belum banyak. Jangankan untuk mengucapkan maaf, saat melihat Budhe, Bucik dan ibunya sungkem sambil tersedu-sedu dia sudah ikutan sendu duluan. Akhirnya malah ngambeg di pojokan.

"Aku nggak mau minta maaf, nanti nangis."

Kami sekeluarga pun sontak terbahak mendengar jawabannya itu. Dan ucapan tak mau minta maaf itu pun tetap dikatakannya saat kami sekeluarga bertandang ke Kung dan Uti satunya (mertuaku). Ya akhirnya dia pun dicium saja oleh Kung dan Utinya. Lucu bener nih anak :)

DI BALIK KISAH LEBARAN TAK KEMANA-MANA

Meskipun di Semarang terdapat berbagai tempat menarik, keluarga kami tak terbiasa melancong saat lebaran. Sudah kebayang aja sesaknya pengunjung yang saling berdesakan di tempat-tempat wisata maupun resto. Bukannya senang justru yang ada malah jadi bete kan?

Ya memang sih, lain keluarga lain kebiasaan. Keluargaku memang jarang bepergian saat hari raya. Berhubung saudara tidak ada yang tinggal di dalam kota, paling kami hanya berkunjung ke rumah Kung dan Uti saja.

Lantas ngapain saja di rumah selama libur lebaran, apa tidak bosan selama liburan nggak ngapa-ngapain gitu?

Banyak sebenarnya yang bisa dikerjakan selama liburan ini. Berbagai aktivitas rumahan yang biasanya tidak bisa kulakukan (dengan alasan capek setelah seharian ngantor), pada liburan kali ini bisa kujalankan. Seperti bersih-bersih rumah, mengubah beberapa letak perabotan rumah agar tidak bosan, mencoba resep baru sampai bergembira ria bersama anak-anak dengan prakarya kecil-kecilan yang kami buat bersama. Seruuuuu....

Ada satu kejadian yang masih kuingat pada hari raya yang lalu. Sesuatu di balik kejadian itu yang membuatku tak lagi mengeluh. "Lebaran kok nggak kemana-mana." Begitu seringnya aku mengucapkan itu di hadapan anak-anak. Otomatis anak-anak pun jadi berpikiran yang sama denganku.

Waktu itu, aku sedang menjamu seorang teman lama yang datang bersilaturahmi. Ditemani si Kakak, kami asyik mengobrol dan menikmati camilan khas lebaran. Di tengah-tengah keasyikan itu, datanglah seorang ibu setengah baya yang berpakaian lusuh. Setelah mengucap salam, dia duduk begitu saja di lantai ruang tamu sembari memegang bungkusan tas plastik hitam. Tas plastiknya itu basah, ceceran airnya menempel semua ke lantai. Sepertinya es teh, cairan coklat beningnya terlihat di lantai rumah kami yang berwarna putih.

Keluarga kami tau bahwa ibu itu memang agak kurang normal, sering berbicara sendiri sambil berjalan tak tentu arah di sekitar kampung. Namun baru kali ini dia bertandang ke rumah kami. Ya seperti itu tadi, bersalam dan langsung duduk di lantai. Tak ada kata-kata selain "nyuwun sodakoh" yang bermakna minta sedekah. 

Tadinya males banget sih mau memberi sedekah ke ibu itu. Tapi daripada kelamaan dia duduk di lantai begitu, akhirnya cepat kuberanjak. Kuambilkanlah sejumlah uang, dan kuminta Kakak yang memberikan uang itu kepadanya. Kupikir palingan nanti si ibu akan berlalu begitu saja. Dengan beribu maklum di hati, ya namanya saja orang kurang normal ya. 

Tapi apa coba yang kemudian terjadi?

Setelah menerima uang yang tak seberapa itu, si ibu bangkit dan dengan cepat memeluk Kakak dan mencium kedua pipinya. Putri sulungku itu tentu saja kaget. Kami semua yang ada di ruanganku itu pun ikut kaget. Kaget sekaligus waspada, mau ngapain nih orang.

Ternyata pelukan dan ciuman itu tanda terima kasih darinya. Tanganku pun dijabatnya, plus cipika cipiki juga. Saat kejadian itu berlangsung, berbagai perasaan aneh merayap di hatiku.

Kaget dan sedikit takut, ya namanya berdekatan dengan orang lain dengan kondisi kejiwaan yang kurang normal, apa nanti reaksinya kan kita kurang bisa memprediksi.
Tertampar di hati, menyaksikan orang kurang waras saja bisa berperilaku baik dan berterima kasih untuk uang yang tidak seberapa itu. Berapa banyak dalam hidupku kuhabiskan untuk mengeluhkan berbagai permasalahan, sedangkan untuk berterima kasih kepada Allah aku sering lupa. Lupa bahwa setiap helaan napas dan kucuran rejeki itu adalah nikmat terindah.

Suka mengeluh lebaran kok nggak kemana-mana, padahal si ibu tadi yang tak jelas ada keluarga atau tidak, terpaksa meminta-minta dari satu rumah ke rumah yang lain untuk makan. Mungkin hari itu lebaran saja dia tak tau. Tak malukah aku kalau begitu?

Bagi Kakak, ini juga pelajaran hidup yang berharga untuknya. Belajar beramal dan belajar beradaptasi dengan kejadian tak terduga semacam ini. Waspada terhadap orang asing tentu saja perlu, namun ketakutan berlebihan perlu disiasati. 

Berhari raya di rumah saja tahun ini ternyata mengandung banyak pelajaran yang bisa diserap. Ya, karena ilmu itu tercurah dari langit Allah di setiap bagiannya. Adalah suatu kesia-siaan apabila aku dan keluargaku tak mampu menangkap kucuran ilmu serta rejeki yang terus menerus diberikan oleh Sang Maha Empunya.


11 comments:

  1. Welaaaah....diambungi to, ya mungkin juga luapan kebahagiaan bagi dia ya mba....

    ReplyDelete
  2. Iya sih... moment lebaran tuh sering diiringi pikiran dan harapan agar lebaran tahun depan bisa bertemu lagi...jadi bikin haru biru selalu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti nggak cuma aku saja nih ya mba yg suka terharu pas lebaran.

      Delete
  3. I feel you mak, di hari lebaran, suka terbesit, apakah lebaran tahun depan masih bisa kurasakan hehehe.. *mewek

    Salam kenal ya Mak Uniek.. Terimakasih sudah ikut #GiveAwayLebaran :)
    Sering2 ya main ke blog aku www.heydeerahma.com..

    =Dee=

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal balik Mak Dee... siaaaapp.... nanti juga sering2 melintas di blog2ku yg lain ya mba ;)

      Delete
  4. Yang penting bersama keluarga maaak.. Kami justru merindukan masa-masa ituuu :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah ya itu mak, maunya juga bareng keluarga tapi pergi kemana2 gituh :)

      Delete
  5. Wah pelajaran berharga bgt ya dr si ibu yg minta-minta itu. Semoga membawa berkah buat yg memberi dan menerima, mak un. Lebaran kmren aku jg di rmh aja kok, menikmati wkt bersama keluarga. :)

    ReplyDelete
  6. akuu bangeet Maak
    semenjak bapa Alm ga pernah mudik lagi ke Solo,
    Selalu di rumah jadi Inem menyambut keluarga besar sodara2 ;v

    Tapi senengnyaa yaa yang penting bareng kel

    ReplyDelete