Untukmu, Nak, yang setiap hari hidup berdampingan dengan media sosial, Ibu tahu betul betapa beratnya beban yang kau pikul. Sejak kau kecil, Ibu selalu menanamkan rasa bangga pada Merah Putih, pada kekayaan budaya, pada Bhinneka Tunggal Ika.
Tapi kini, Ibu bisa merasakan kebimbangan di hatimu. Ada kekecewaan yang tumbuh saat menyaksikan berita demi berita. Seolah, Indonesia yang dulu kita banggakan, kini terasa seperti sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan.
Pertanyaan "masih perlukah kita mencintai Indonesia?" bukan lagi sekadar pertanyaan retoris. Pertanyaan ini menjadi sebuah refleksi jujur dari generasi yang menyaksikan langsung gejolak ini. Ibu ingin mengajakmu, melalui tulisan ini, untuk mencari jawabannya bersama.
Ketika Lelah Itu Bukan Lagi Sekadar Rasa
Jujur saja, Ibu juga seringkali lelah. Lelah melihat harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Rasanya seperti berlari di atas treadmill yang kecepatannya terus bertambah, sementara penghasilan kita jalan di tempat. Kenaikan harga beras, minyak, hingga listrik, bukan lagi sekadar angka di media, melainkan beban nyata di meja makan keluarga, memangkas habis harapan untuk menabung atau meraih mimpi-mimpi kecil.
Rasa lelah itu juga datang saat melihat pemberitaan tentang korupsi yang tak ada habisnya. Seolah-olah janji-janji manis luntur begitu saja di depan uang. Kepercayaan kita pada sistem, pada orang-orang yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, terkikis sedikit demi sedikit.
Ditambah lagi, di ranah hukum, keadilan terasa seperti barang langka yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang. Kita melihat kesenjangan itu begitu nyata, menyisakan luka yang dalam.
Belum lagi di ranah digital, Nak. Dunia yang seharusnya menghubungkan kita, seringkali justru memisahkan. Hoaks dan berita palsu menyebar lebih cepat dari api, mengubah kawan menjadi lawan hanya karena berbeda pandangan politik. Hal ini membuat kita terasa asing di rumah sendiri, curiga pada tetangga, dan terlalu cepat menghakimi tanpa tahu cerita sesungguhnya.
Puncaknya, hati Ibu hancur melihat anak-anak muda, yang usianya tak jauh dari kalian, justru menjadi korban. Insiden tragis yang menewaskan mahasiswa dan pelajar saat aksi demonstrasi, seperti yang menimpa almarhum Rheza Sendy Pratama atau Iko Juliant Junior, adalah tamparan keras bagi kita semua.
Kejadian-kejadian ini bukan lagi sekadar berita, tapi cermin dari kerapuhan yang kita hadapi, membuat kita bertanya, sampai kapan kekerasan akan menjadi solusi?
Mencintai Bukan Berarti Pasrah
Setelah semua yang terjadi, mengapa kita harus tetap mencintai Indonesia? Jawabannya ada di sini, Nak: Mencintai Indonesia di masa sulit adalah sebuah tindakan, bukan sekadar perasaan pasif.
Pertama, Indonesia itu bukan cuma yang di atas sana.
Indonesia itu kita. Ibu, Ayahmu, kamu, jutaan pengemudi ojek daring yang berjuang di jalanan, petani yang tak pernah lelah mengolah tanah, guru-guru yang berkorban mendidik anak bangsa di pelosok negeri. Merekalah tulang punggung yang membuat bangsa ini tetap berdiri.
Di balik berita-berita buruk, selalu ada kisah-kisah kebaikan yang tak terhitung jumlahnya. Ada komunitas yang bahu-membahu membersihkan sungai, anak muda yang merawat alam, dan relawan yang sigap membantu saat bencana. Merekalah cerminan cinta sejati pada bangsa ini.
Kedua, kalau kita tidak mencintai, siapa lagi yang akan peduli untuk memperbaikinya?
Cinta adalah bahan bakar untuk perubahan. Kalau kita sudah menyerah, siapa yang akan mengingatkan para pembuat kebijakan?
Siapa yang akan menjaga etika di media sosial agar tidak memecah belah?
Siapa yang akan berani menolak korupsi sekecil apa pun di lingkungan kerjanya?
Tugas kita, Nak, adalah menjadi jeda di tengah hiruk pikuk. Jadilah suara kebenaran di tengah lautan hoaks. Jadilah tangan yang membantu, bukan tangan yang memprovokasi.
Ketiga, ini adalah warisan untuk anak-anak kita.
Ibu tidak ingin anak-anak Ibu mewarisi rasa apatis dan sinisme. Ibu ingin kau mewarisi semangat juang, optimisme, dan keyakinan bahwa Indonesia adalah rumah yang layak untuk diperjuangkan. Kamu adalah generasi yang akan menjadi orang tua di masa depan. Jika kamu menyerah mencintai Indonesia, apa yang akan kamu ajarkan pada anak-anakmu kelak?
Mari kita sepakati satu hal. Cinta pada bangsa ini bukan berarti menutup mata dari masalah. Justru sebaliknya. Cinta itu menuntut kita untuk membuka mata, melihat semua kekurangan, lalu dengan berani dan tulus, berbuat sesuatu untuk memperbaikinya.
Jadi, jangan biarkan kekecewaan mengalahkan cinta. Biarkan cinta itu yang memimpinmu untuk bergerak, berbuat, dan merawat bangsa ini, bersama-sama.
No comments:
Post a Comment