Friday, March 22, 2024

Buka Puasa di Pondok Kayak Apa Sih?

 

Hari ini sebenarnya saatnya menulis dengan tema pemberian reward kepada anak yang sudah mau puasa. Tapi terus terang Ibu BocahRenyah sudah lupa, dulu jaman Kakak dan Adek kecil tuh apa pernah gitu ya diberikan reward ketika bersedia diajak puasa.

Hanya ingat samar-samar, keduanya sudah mulai berlatih puasa sejak di Taman Bermain dan Taman Kanak-kanak. Bertahap gitu sih puasanya, mulai dari jam berapapun mereka kuat, setiap hari ditambah setengah jam. Lama-lama sudah bisa sampai sore.

Saat ini Kakak sudah kuliah semester 4 dan masih mondok, sedangkan Adek kelas 2 SMP dan juga mondok. Ibu malah pengin cerita tentang bagaimana duo BocahRenyah ini berbuka puasa di pondok pesantren.



Meriah Sekaligus Sederhana Cara Makan di Pondok Pesantren


Saat melihat ada makanan yang sengaja disisihkan, tidak dimakan karena tidak sesuai selera, Ibu lantas teringat apa yang dialami Kakak dan Adek saat mereka makan bersama santri lainnya di pondok. Jangankan bersisa, biasanya malah pengin nambah tapi tidak ada lagi. Semuanya sudah dijatah.

Tak terkecuali di bulan puasa ini, santri tetap mendapatkan jatah makan yang sama seperti hari-hari biasa. Hanya bedanya waktu penyajian saja. Selama Ramadan, nasi dan lauk tersedia di jam buka puasa dan sahur.

Pada suatu hari di bulan Ramadan tahun ini, Adek pernah sesekali menelepon. Biasanya sih untuk berkabar tentang kegiatan di pondok, sekolah dan terutama tentang tambahan uang saku hehehee... Biasa laaahh...

Saat itu Ibu menanyakan, tadi buka puasanya makan apa saja? Jawabannya : "Biasalah, Bu... Nasi sama sayur tahu." 

Kadang tuh Ibu merasa prihatin, duuuh gitu amat ya tirakatnya anak pondok. Makan tuh lauknya kalau enggak sayur tahu ya sayur terong. Berhubung sudah bertahun-tahun punya anak yang mondok, saat ini Ibu sudah bisa menganggap jawaban tadi sebagai bahan bercandaan khas anak pondok. Toh mereka masih bisa membeli gorengan di kantin untuk tambahan lauknya. Disyukuri saja yaaa... Hitung-hitung terbiasa prihatin sejak muda, Insya Allah nanti ketika dewasa bisa menjadi pemimpin keluarga yang peka terhadap segala situasi. Aamiin.

Berbeda dengan kebiasaan berbuka puasa di rumah, biasanya diawali dengan minum air, makan kurma, lanjut dengan makanan kecil dulu. Nanti makan nasi dan lauk pauknya setelah tarawih.

Kalau di pondok, para santri langsung berbuka puasa dengan makan besar. Kenyang is way of life ya Nak kalau di sana hehehee... Sekali makan langsung kenyang karena sesudah maghrib itu jadwal mengaji bakalan padat merayap hingga malam hari. 

Bagi yang tidak familiar dengan kehidupan di pondok pesantren konvensional, Ibu mau berbagi cerita sedikit tentang cara makan santri, khususnya di pondok tempat Kakak dan Adek bersekolah. 


Tradisi makan di pondok pesantren


Biasanya mereka makan dengan menggunakan media talam atau nampan. Satu wadah gitu bisa untuk makan 5 hingga 6 orang. Mengambil wadahnya pun bergantian, jadi tidak santri yang itu-itu saja. Ada satu atau dua orang yang pergi ke dapur untuk mengambil wadah, dibawa ke pondok untuk dinikmati bersama dengan teman-teman lainnya.

Belajar hidup bersama memang 'seberat' itu ya, Nak? Harus rela menekan ego dengan bersedia mengambilkan makan santri lainnya. 

Tak bisa meminta lauk spesial, tak bisa minta tambah porsi. Namun biasanya untuk jatah makan santri putra, nasinya pasti buaaanyaaakkk...

Oya, di pondok tempat Adek saat ini menuntut ilmu, ada kebiasaan makan yang disebut 'ngrowot', yaitu tidak makan nasi yang berasal dari beras. Sebagai penggantinya, mereka makan nasi jagung. Pondok pesantren menyediakan nasi jagung tersebut. Jadi ketika mengambil wadah makan, sudah tersedia dua pilihan, yang nasi biasa dan nasi jagung.

Mengapa sih harus menggunakan metode makan bersama seperti itu?

Ibu baca dari beberapa sumber bahwa pondok pesantren adalah tempat untuk belajar tirakat (prihatin), tradisi makan bersama ini salah satu wujud nilai tirakat. Makan bersama akan mendatangkan keberkahan sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud:


يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ : فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ. قَالُوا نَعَمْ. قَالَ : فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ إِذَا كُنْتَ فِى وَلِيمَةٍ فَوُضِعَ الْعَشَاءُ فَلاَ تَأْكُلْ حَتَّى يَأْذَنَ لَكَ صَاحِبُ الدَّارِ

“Bahwasannya para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “(Mengapa) kita makan tetapi tidak kenyang?” Rasulullah balik bertanya, “Apakah kalian makan sendiri-sendiri?” Mereka menjawab, “Ya (kami makan sendiri-sendiri)”. Rasulullah pun menjawab, “Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah akan memberikan berkah kepada kalian semua.” (HR. Abu Dawud).

Masya Allah... ternyata begitu dalam ya filosofi dari makan bersama tadi. Tak hanya terkait tentang solidaritas saja, namun juga terkait dengan keberkahan atas apa yang telah dimakan tadi.

Makan bersama ini menjadi tradisi yang tidak bisa terlepas dari pondok pesantren untuk membangun solidaritas kebersamaan satu santri dengan yang lainnya. Bahwasanya mereka hidup bersama, sama-sama jauh dari orang tua, sehingga yang menjadi saudaranya ya teman pondoknya itu.

Insya Allah kesehatan dan kecerdasan selalu tercurah untuk kalian ya, anak-anakku. Jauh dari orangtua dan harus latihan prihatin begini menjadikan kalian pribadi yang tegar dan tidak mudah tergerus oleh berbagai permasalahan hidup di kemudian hari.

No comments:

Post a Comment